Senin, 12 Agustus 2013

The Confession of a Novelist #Part 1

Pernahkah kau berharap impianmu terwujud? Aku yakin sebenarnya itulah impian semua orang? Dan begitu pula tentang aku, yang kupikir semua orang akan merasa aku orang aneh karena aku menanyakan hal bodoh seperti itu. Mungkin aku tak tahu harus memulai cerita tidak jelas ini dari mana. Tapi aku akan menceritakan sedikit tentang keluarga ‘konyolku’. Mungkin aku ‘sedikit’ jahat menyebut keluargaku konyol. Mereka tak seburuk kelihatannya kok. Tahukah kalian bagaimana rasanya kalau di rumahmu semuanya hanya ada wanita dan kau jadi si bungsu? Jujur saja, bagiku..., MENGERIKAN! Aku mempunyai dua kakak perempuan. Yang pertama, Charon. Cerewet, Modist, dan ambisinya adalah menjadi artis tak berotak. Oke, mungkin itu memang kejam, tapi lupakan! Kakak keduaku, Anomy. Dia kembaranku tapi muka kami tak sama, jujur. Anomy lebih cantik, ramah, pendiam, dan pintar. Dan kami sekelas! Lalu aku yang baru akan mengatakan kalau aku dan Anomy berbeda 1800. Aku cenderung berwajah jutek, jelek, cerewet (dalam hal yang berbeda dengan Charon), dan aku orangnya malas untuk melakukan hal-hal yang tidak kusukai termasuk pelajaran. Orang tua kami sudah lama bercerai dan kami bertiga hidup dengan ibu kami. Tapi kami masih menyandang marga ayah kami ‘Scott’, nama yang menurutku idiot karena kedengarannya seperti ‘scout’ (pramuka). Dan yang paling buruk dari keluargaku adalah, pacar Mom yang bernama, Tom Stanford. Orang galak dan tolol yang kerjaannya hanyalah perang denganku. Ini perang dalam artian aku-sangat-membencinya, ya, bukan perang dalam arti sangat dekat. Tapi Tom tolol bisa dekat dengan Charon dan Anomy, jadi bila ada dia, aku hanya dipikir sebagai pembantu disana. Bayangkan saja dianggap sebagai pembantu di rumah sendiri! Bagaimana mungkin aku tak ingin menenggalamkannya dengan trisula Poseidon di Palung Mariana? Btw, namaku Nola, Nola Scott. Nggak tahu tuh bagaimana sejarahnya mendapat nama ‘Nola’, aku tak pernah sempat untuk menanyakannya ke Dad yang super sibuk! Lihat aja deh kalo Dad nggak sibuk olahraga, pasti Mom sama Dad nggak bakalan cerai, dan Mom nggak bakalan sama orang sok kaya Stanford. “NOLA! CEPETAN!!!” teriakan Charon membuat tetangga kami menengok ke balik pagar untuk melihat apa yang terjadi. Keluarga kami memang berisik, dan kurasa para tetangga harusnya sudah bisa membiasakan diri dengan teriakan-teriakan kami selama bertahun-tahun. Kamarku dan Anomy berada di lantai dua, dan aku hampir terpeleset di tangga karena terburu-buru. Aku duduk dan bergabung ke meja makan bersama Mum, Charon, dan Anomy yang sudah siap semua. Jujur saja aku tak peduli kalau hari ini aku telat, “Iya, Nyonya, sabar!” balasku kesal sambil memasukan selembar roti tawar ke mulutku. Ruang makan kami tak terlalu besar karena penghuninya hanya empat orang, walaupun kadang kurasa aku lebih dianggap sebagai tetangga tak tahu sopan santun kalau Tom ikut makan bersama kami. “Kamu ngapain aja sih, La, dikamar?” tanya Charon ketika aku sudah menghabiskan sarapanku, yang menurutku sangat sedikit. “biasa, ngayal!” kataku judes lalu menarik tasku dan mengikuti Anomy ke garasi. Charon mendengus kesal, tapi buru-buru Mom membelanya. “Nola, kamu kenapa sih? Ditanya baik-baik malah sewot. Kakakmu tuh peduli sama kamu” kata Mom uring-uringan. Charon tertawa mengejekku penuh kemenangan. “Charon nggak nanya baik-baik, dia juga sewot karena Robby udah sampai duluan di sekolah.” kataku kesal. Aku hampir hafal semua yang jadi kebiasaan Charon terutama ucapannya, yang sekarang sering kugunakan untuk melawannya. Mom tampak menengang melihat aku membalas ucapannya, “kalau kau disuruh menunggu kan juga tak mau! Kau itu sudah besar, harusnya tahu ini sudah jam berapa. Yang terancam telat bukan Cuma kamu, tapi Charon dan Anomy juga!!” sebenarnya aku masih bisa menjawab perkataan Mom, tapi mengingat muka Mom sudah seperti itu, dia pasti akan memukulku kalau aku membuat dirinya kalah debat denganku, “iya deh terserah. Ayo! Katanya nggak mau telat!” Aku tak menggubris yang lain, dan tampaknya Mom masih kesal dengan tingkahmu. Mungkin aku memang seharusnya tidak melawan ucapannya. Tapi aku tetap masuk ke bangku belakang mobil lebih dulu dan mogok bicara sepanjang perjalanan ke sekolah. Kalian tahu, seharusnya aku mengucapkan ‘selamat’ ke diriku sendiri karena bisa dam selama 15 menit. *** Sampai disekolah, Robby tampak berdiri di depan gerbang, tersenyum pada Mom, lalu merangkul Charon. Mereka tampak mesra berdua, berjalan memasuki gedung yang orang-orang sebut sebagai sekolah. Aku menarik lengan Anomy ke arah yang berlawanan dengan Charon dan Robby, karena kelas kami memang bertolak belakang, melewati lapangan basket dimana anak-anak sok cool bau keringat, dan kurang kerjaan sudah beraktivitas sepagi ini. Seorang cowok yang merupakan salah satu dari mereka, mendatangi kami, memakai tas, tapi seragamnya sudah berantakan, dan tubuhnya sudah berbau keringat, “hai guys”sapa cowok yang menurutku paling sok keren itu. “kamu nggak mandi ya?” sindirku. Dia hanya terkekeh. “kalo latihan siang-siang, mana sehat?” Nick lalu menengok Anomy mencari dukungan, “ya kan, Nomy?” lihat kan, dia mulai berulah. Nick itu sahabat kami sejak kelas 7. Dia kapten-atau-apalah-istilahnya Leader nya tim basket sekolah. Anomy hanya tersenyum seperti biasa. Sumpah, kurasa Anomy itu naif banget, “noh kan kamu mulai, tapi serius kamu keringetan. Tadi nggak pake seragam ini kan juga bisa.” “tadi kan sebenarnya Cuma mau main-main aja” kata Nick nyengir, menggaruk-garuk kepalanya,”tapi keterusan. Alah nanti nggak ada jadwal guru yang sok disiplin. Biarin aja. Aku juga bawa parfum” “Nick, kamu nyadar nggak sih parfumkamutuh nggak enak banget” kataku jujur. Nick hanya tertawa. “Masa? Padahal di iklannya bikin bidadari lupa diri. Untung aja kamu cowok ya La, kalo nggak nanti kamu dikira gebetan aku jadi nanti nggak ada yang berani PDKT ke aku karena takut kena tonjok.” Dia tertawa dengan Anomy yang menurutku candaannya benar-benar garing. Bahkan untuk orang yang nggak peka kaya aku. “siapa cewek katarak yang mau PDKT ke kamu?” tawa mereka serentak berhenti. Sial, aku lupa kalau Nick dan Anomy saling taksir. Dan beberapa adik kelas yang jalannya kulewati mulai berbisik-bisik, karena efek dari perkataanku, “eh kakak itu siapa sih?” “Nola Scott, apa dia bodoh?” “dia yang menang debat. Masa bodoh?” “itu tadi cowok sekeren Nick Effron dibilang jelek” “kita dikatain katarak” “EHM,,” kataku keras. Serentak gosip dua adik kelas yang tak kuketahui namanya itu langsung diam. Muka mereka memerah. Aku tak peduli dengan dua anak itu, tapi aku benar-benar salah omong. Anomy dan Nick memang saling taksir sejak kelas 8. Dan mereka berdua sendiri yang bilang padaku. Karena itu Anomy sering mau diajak kencan cowok lain tahun lalu, karena dibilangi Charon mungkin itu bisa membuat Nick cemburu, dan memang benar. Dan Anomy sering bercerita betapa kesalnya dia kalau Nick sering dikerebungi cewek-cewek. Dan kalian tahu? Jadi penengah selama bertahun-tahun itu tidak enak. Bahkan kami bertiga masih terdiam saat memasuki kelas dan duduk di bangku kami masing-masing. Aku duduk dengan Anomy, sedangkan Nick duduk sendirian di belakang kami. Aku tak mengerti kenapa dia lebih sering bergaul dengan cewek-cewek seperti kami di kelas meskipun dia juga akrab-akrab saja dengan cowok-cowok yang lain. Mungkin dia terlalu memperlihatkan PDKT nya ke aAnomy. Kelas kami memang ganjil dan yang dapat kesialan duduk sendiri adalah Nick. Tapi tampaknya dia biasa saja menanggapinya. “Udah ngerjain Matematika belum?” tanya Anomy berbalik mengingatkan Nick, memecah kesunyian kami. “emang ada PR??” tanyaku ikut berbalik bingung. Ingatanku memang tidak bisa diandalkan untuk hal-hal seperti ini. “udah dong” kata Nick bangga mengeluarkan buku matematikanya, “gimana sih? Udah serumah, yang satu inget yang satu yang diinget diinget cuma baca buku.” Aku tidak akan menyangkalnya, karena itu memang benar. Tapi aku tidak hanya gemar membaca buku. Aku juga membuatnya. Dua dari serinya yang masih belum selesai sudah diterbitkan, dan aku sedang membuat buku ketiganya. Rencanyanya akan ada pemfilman buku pertamanya dan castingnya bulan ini, entah kapan tepatnya aku tidak tahu, aku merahasiakan tulisanku dari publik, karena kalau tidak Dad pasti akan menekanku. Jadi aku hanya akan mendapat rekaman casting, dan mengirimkan skenario lewat e-mail dan semoga semuanya berjalan lancar karena aku belum memperhitungkan kalau ada konferensi pers. Hanya Anomy yang mengetahui hal ini dan dia yang sering membantuku dalam pemilihan kata dan kalimat. Dan hasilnya lumayan untuk menambah uang jajan dan melakukan apapun yang kuinginkan. Tapi tetap aku harus menabungnya untuk kuliah. Aku tak yakin bila ingin kuliah di U.S.A Mom tidak akan mengijinkanku, lagipula katanya biaya hidup disana mahal. Mungkin Dad akan menyetujuinya, tapi pasti dia akan mentarget hidupku yang menjadikan usahaku melarikan diri dari rumah gagal! “Nola itu udah ngerjain”kata Anomy geleng-geleng kepala, memecah lamunanku. “masa?” tanyaku dan Nick bersamaan, sama-sama tidak percaya kalau aku mengerjakan PR. Aku segera mengeluarkan buku Matematikaku, “oh yang ini? Kukira betulan PR.” Kataku lega melihat catatanku lengkap “ingat kalau nanti ulangan kimia?” tanya Nick menjebak membuatku kembali panik karena setiap malam aku hanya fokus pada satu pelajaran saja yang kusukai, seperti ilmu-ilmu sosial. Nick tertawa keras sekali. “Nggak ada ulangan Nola,” kata Anomy setengah tertawa, “Nick hanya bercanda”. Aku menggembungkan pipiku kesal, lalu berbalik untuk meraih bukuku. “AAAAAAAAAARGH!!!!!” Konsentrasiku terpecah mendengar teriakan salah satu personil The Cutties, “sial!” kataku mengumpat. The Cutties adalah geng cewek teratas sekolah kami, Catterham Galaaugher HighSchool, yang lebih mudah disebut CG oleh kebanyakan orang karena namanya yang kepanjangan. The Cutties beranggotakan 4 orang cewek kaya dan menganggap diri mereka cantik dan sering membuat peringkat cewek-cewek tercantik yang dimulai dari mereka sendiri. Charon pernah menjadi 8 besar mereka yang membuatnya menjadi cewek paling menyebalkan selama lima minggu. Terdiri dari Macey Thompson, ketua mereka. Ayahnya bekerja sebagai Gurbernur Bank Euro. Dari semua The Cutties dia yang paling menyebalkan. Tapi aku takkan segan-segan untuk bicara blak-blakan didepannya. Dan itulah yang membuat mereka membenciku. Lalu ada Alicia Pieters, yang menurutku memang cantik. Dia seorang artis, jadi maklum kalau dia bisa masuk ke kelompok ini. Catherine Thomas adalah satu-satunya cewek yang menurutku mempunyai otak dibanding keempat temannya, tapi sayang kecerdasannya lebih ia gunakan ke mode, dan fashion. Dan terakhir ada Emma Payne. Banyak makan tapi tak bisa gemuk. Aku sangsi kalau dia sebenarnya punya penyakit cacingan. Tapi aku sendiri tak mau berasumsi begitu karena aku juga seperti dia. Dan aku tidak cacingan! “MACEY!” teriak Catherine yang baru datang berlari terbirit-birit menyusul teman-temannya yang sudah di pintu masuk kelas. Teriakannya sukses membuat semua orang tak dapat menghirauan mereka. “apaan sih, Cath?”tanya Macey dengan ekspresi jijik, menandakan ia tidak suka dengan sikap orang yang ia anggap teman ini,”kamu lebay” “sorry, Mash” kata Catherine ngos-ngosan mengatur napas, “udah denger belum soal konferensi pers Peter Morgan?” “belum” kata Emma, “memang dia kenapa? Tidak mendadak kehilangan suara dan ketampanannya kan?” Aku melonggarkan telinga, menguping dari jarak 5 meter dari The Cutties. “Peter Morgan, akan pindah ke CG!!” Catherine tidak dapat menyembuyikan rasa senag dalam nada bicaranya. Muka teman-temannya mendadak lebih cerah darinya. “AAAAAAAAAAAAARGH!!!!! Kenapa kamu baru bilang???” jujur saja, menurutku Macey jauh lebih lebay dari Catherine. Eh tunggu, apa barusan dia bilang kalau Peter Morgan akan pindah ke CG? Satu komentarku, “WOW, benarkah? Bukan gurauan Yahoo kan?” batinku semakin tertarik menguping pembicaraan ini. “Wah keren!” kata Anomy yang ternyata juga menguping The Cutties,”bukankah kamu suka Peter Morgan, La?” tanya Anomy padaku. “Mau dia sekolah di St. Brutus aku juga nggak peduli. Paling Cuma bikin cewek-cewek sok itu tambah ngeselin. “ kataku-sok-tak-peduli lalu kembali ke bukuku. Tapi percuma, inspirasiku sudah terlanjur pergi dan pikiranku masih terfokus ke kalimat Catherine barusan. “wah kesempatan kita nih, girls” kata Emma lalu berkaca di cermin bedak dan merapikan riasannya, yang menurutku tak ada bedanya. “memangnya kapan tepatnya dia pindah?” tanya Alicia tidak seheboh teman-temannya. Mengingat harusnya mereka sudah saling mengenal, karena status-keartisan mereka. “wah, kalau itu aku tidak tahu” kata Catherine, “tapi kuharap dia sekelas dengan kita mengingat Nick Effron duduk sendirian” “wah, kalau begitu Effron bisa terancam kalah keren nih” kata Emma, mukanya memerah, “kalau begitu Effron buat aku ya? Peter Morgan terserah kalian” “itu sih nggak masalah asal kamu lebih baik dari mereka” kata Macey sinis memandang Anomy dan aku. Aku buru-buru kembali ke novelku dan Anomy membaca buku Fisika, “tampaknya Effron naksir Scott” “Scott yang mana?” kata Emma raut mukanya mengeras. Dengan serius membanding-bandingkan kami, “Anomy ya?” “Iya lah. Masa juga kembarannya sih. Si Anomy cantik, hmm..., wah bahaya nih, dia cantik.” Komentar Catherine. Untuk hal ini aku memang mengakuinya. Kakak-kakakk yang cantik dan aku yang buruk rupa. Jadi judulnya “The Beautys and The Beast One”. Tapi aku tetap tidak suka dibanding-baindingkan dengan siapapun. “aku bingung” kata Alicia, “bagaimana kalian bisa bilang Anomy Scott cantik tapi Nola Scott tidak padahal mereka jelas-jelas kembar. Emang sih nggak identik. Tapi kan mereka tetap mirip satu sama lain” “mirip sih. Tapi miripnya jauuuuuhh!!!” kata Macey tertawa, diikuti teman-temannya, “kan kembarannya..., siapa tadi? kan dia cowok” “guys, kalau dia mendengarnya kita bisa kena masalah” kata Alice tersenyum samar padaku. Aku memutar kedua bola mataku lalu membaca novelku dari awal. Kupikir aku tahu aku akan menulis apa. Macey mengangkat bahu, mungkin ingat terakhir kali aku menginjak kakinya dengan sepatu PDL sampai memar, dan membiarkannya hanya bisa mengenakan sepatu kats selama sebulan. Aku tertawa senang selama 4 jam sebelum aku bisa mengelak dari ancaman Mr. Kennedy, wakil kepala sekolah. Tiba-tiba bell masuk berbunyi, The Cutties dengan lamban ala model tradisional memasuki kelasku dengan angkuh seperti biasa. Sungguh aku tak mengerti bagaimana seseorang mau berjalan dengan sangat lamban. Angkuh juga! Memang ini kelas punya mereka apa? Wali kelas kami, Mrs. Kingsley lah yang datang menggantikan, Mr. McHenry yang seharusnya mengisi jam pertama dengan dongeng tentang perilaku manusia alias sosiologi yang sukses membuat pagi langsung tidak menyenangkan, dan membuat otak down. Akan tetapi Mrs. Kingsley tidak datang sendirian. Di belakangnya berjalan sebuah tokoh tak asing. Cowok tinggi berambut coklat agak bergelombang pendek dan bermata sangat biru seperti birunya air laut yang jernih. Dengan gayanya yang tak terkesan dibuat-buat tapi cukup membuat semua orang di kelas gempar. Bahkan Anomy sampai membelalakan mata. Peter Morgan. ***

Followers

cursor

Blogger Tricks